Mulai bulan ini, peraturan baru pemerintah soal pengenaan pajak untuk pulsa seluler, voucher, kartu perdana, dan token listrik, berlaku efektif. Ketika diumumkan pada 29 Januari lalu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 ini sempat menimbulkan pro dan kontra karena selain menghasilkan pendapatan bagi negara, kebijakan ini dianggap berat bagi masyarakat dengan mengenakan pajak untuk hal-hal yang esensial di masa pandemi ini, yakni pulsa seluler dan listrik.

Melalui aturan tersebut, pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,5 persen, yang dipahami sebagai “harga naik” oleh masyarakat, meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian memastikan bahwa tidak ada pungutan pajak baru dalam ketentuan itu.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Insitut Teknologi Bandung, Ian Joseph, kepada ANTARA menyatakan harga yang sampai ke konsumen semestinya tidak terdampak karena hanya pedagang di tingkat tertentu yang dipungut pajak.

PPN untuk pulsa dan kartu perdana dikenakan hingga distributor tingkat kedua atau server. Kementerian Keuangan menyatakan pengecer dan konsumen tidak lagi dikenakan PPN. Sementara untuk token listrik, PPN dikenakan untuk jasa penjualan atau pembayaran token listrik dalam bentuk komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual, bukan untuk nilai token listrik.

Berkaitan dengan PPh sebesar 0,5 persen, pajak tersebut dipotong dimuka. Besaran ini dipungut dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua, kepada distribusi tingkat selanjutnya. Dengan kata lain, harga jual eceran pulsa dan token listrik yang sampai ke konsumen semestinya tidak berubah setelah aturan ini berlaku.

Pungutan PPN dan PPh untuk kartu perdana, pulsa, voucher dan token listrik bukan hal yang baru, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan melalui unggahan di Instagram, bahwa tidak ada pungutan pajak baru melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021.

PPN untuk jasa telekomunikasi sudah dipungut sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar dan Penyerahan Jasa Kena Pajak di samping Jasa yang Dilakukan Oleh Pemborong.

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 disebutkan bahwa “jasa penerbangan dalam negeri dan jasa telekomunikasi dikenakan pajak”. Kementerian Keuangan menyatakan salah satu kendala yang sering ditemui di lapangan di kalangan distributor dan pengecer, secara administrasi mereka belum mampu menjalankan kewajiban mereka hingga menimbulkan perselisihan dengan Kantor Pajak.

Ada kalanya pajak dianggap memberatkan pengecer, namun petugas bisa menagihkan pajak karena ada objek yang terkena pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 bertujuan mengatasi masalah tersebut yaitu dengan memberikan kepastian status pulsa sebagai barang yang kena pajak.

“Ketika kita beli pulsa, sebenarnya sudah kena PPN dan PPh,” kata Ian.

Distributor, dijelaskan Ian, membeli pulsa dalam jumlah banyak dan sudah dikenakan pajak dalam transaksi tersebut. Ian berpendapat dengan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri dan informasi ini tersebar luas, masyarakat kini bisa mengetahui bahwa jasa telekomunikasi pun tidak luput dari pajak. Kebijakan yang diturunkan menjadi Peraturan Menteri ini akan memberikan kepastian hukum karena tata cara tertuang di peraturan tersebut.

Jika penjual bisa mencantumkan berapa harga pulsa tersebut dan berapa besar pajak yang dikenakan, maka akan menjadi lebih transparan. Dia menyoroti pengenaan pajak terhadap tarif promosi, yang sering diberikan ketika masa pandemi ini. Menurut Ian, pajak sebaiknya dikenakan pada harga tarif asli, sebelum promosi.