Perubahan pola konsumsi yang terjadi di masa pandemi dapat terlihat pula dengan mulai menurunnya penggunaan uang tunai oleh masyarakat Indonesia. Hal ini justru bisa mengakselerasi perwujudan masyarakat nontunai (cashless society) di Indonesia, dari yang awalnya dicanangkan pada 2030 menjadi empat tahun lebih cepat di 2026.

Menurut studi yang dilakukan oleh Visa Inc, pilihan pembayaran dan perilaku berbelanja konsumen Indonesia berubah signifikan seiring pandemi COVID-19 yang melanda global. Studi Visa Consumer Payment Attitudes menemukan pertumbuhan konsumen yang melek digital dan pergeseran cara pembayaran di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Seperti yang diketahui, virus COVID-19 sendiri dapat menyebar dengan cepat, melalui berbagai media. Salah satu yang dikhawatirkan ialah uang tunai. Menurut survei, sebanyak enam dari 10 konsumen Indonesia kini membawa lebih sedikit uang tunai. Jumlah ini merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Hal ini sejalan dengan berkurangnya minat belanja masyarakat dengan menggunakan uang tunai. Survei mencatat sebanyak 63 persen konsumen Indonesia mengakui semakin jarang berbelanja dengan uang tunai. Sekitar 66 persen atau sebanyak tujuh dari 10 responden.

Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia, Riko Abdurrahman menyatakan keamanan pribadi dan higienitas pembayaran menjadi prioritas utama selama pandemi. Hal ini mendorong banyak konsumen Indonesia untuk beralih ke pembayaran nontunai dan mempertimbangkan pembayaran contactless.

Secara langsung, kini konsumen di Indonesia telah merasakan manfaat gaya hidup nontunai, terutama dari segi keamanan, kenyamanan, dan efisiensi, di tengah ketidakpastian situasi akibat pandemi ini. Terlepas dari semakin berkurangnya kegiatan belanja secara tatap muka, faktor penyebab terjadinya penurunan penurunan pembayaran tunai adalah pemanfaatan pembayaran contactless.

“Studi kami menyoroti bagaimana keamanan pribadi dan digital-first commerce akan tetap menjadi tren bahkan setelah pandemi COVID-19 berakhir, di mana masyarakat akan menggunakan lebih sedikit uang tunai dan lebih sering berbelanja online di marketplace besar,” ujar Riko dalam siaran pers, Rabu (24/2/2021) dikutip dari Kontan.

Survei juga mencatat sekitar 59 persen atau hampir enam dari 10 konsumen di Indonesia lebih memilih berbelanja di situs perdagangan (marketplace) secara online. Mayoritas transaksi mobile e-commerce terjadi melalui aplikasi, sekitar 12 kali dalam sebulan.

Perilaku berbelanja masyakarat kini juga telah bergeser. Sebanyak empat dari 10 konsumen memilih untuk mendukung usaha rumahan atau lokal, dengan layanan pesan antar ke rumah menjadi pilihan utama saat berbelanja. Sebanyak 88 persen atau sekitar sembilan dari 10 konsumen Indonesia menggunakan layanan pesan antara saat belanja, dimana tujuh dari 10 konsumen mengakui rata-rata 7 kali menggunakan layanan tersebut setiap bulannya.

“Tren-tren yang ada semakin memperkuat keyakinan kami bahwa masyarakat Indonesia sudah siap menyambut transaksi pembayaran digital yang contactless dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan kami siap untuk terus menjadi jaringan global yang berkolaborasi dan memberdayakan klien serta jaringan pembayaran lokal agar semakin baik memenuhi kebutuhan konsumen mereka”, ucap Riko.

Mulai bulan ini, peraturan baru pemerintah soal pengenaan pajak untuk pulsa seluler, voucher, kartu perdana, dan token listrik, berlaku efektif. Ketika diumumkan pada 29 Januari lalu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 ini sempat menimbulkan pro dan kontra karena selain menghasilkan pendapatan bagi negara, kebijakan ini dianggap berat bagi masyarakat dengan mengenakan pajak untuk hal-hal yang esensial di masa pandemi ini, yakni pulsa seluler dan listrik.

Melalui aturan tersebut, pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,5 persen, yang dipahami sebagai “harga naik” oleh masyarakat, meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian memastikan bahwa tidak ada pungutan pajak baru dalam ketentuan itu.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Insitut Teknologi Bandung, Ian Joseph, kepada ANTARA menyatakan harga yang sampai ke konsumen semestinya tidak terdampak karena hanya pedagang di tingkat tertentu yang dipungut pajak.

PPN untuk pulsa dan kartu perdana dikenakan hingga distributor tingkat kedua atau server. Kementerian Keuangan menyatakan pengecer dan konsumen tidak lagi dikenakan PPN. Sementara untuk token listrik, PPN dikenakan untuk jasa penjualan atau pembayaran token listrik dalam bentuk komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual, bukan untuk nilai token listrik.

Berkaitan dengan PPh sebesar 0,5 persen, pajak tersebut dipotong dimuka. Besaran ini dipungut dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua, kepada distribusi tingkat selanjutnya. Dengan kata lain, harga jual eceran pulsa dan token listrik yang sampai ke konsumen semestinya tidak berubah setelah aturan ini berlaku.

Pungutan PPN dan PPh untuk kartu perdana, pulsa, voucher dan token listrik bukan hal yang baru, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan melalui unggahan di Instagram, bahwa tidak ada pungutan pajak baru melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021.

PPN untuk jasa telekomunikasi sudah dipungut sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar dan Penyerahan Jasa Kena Pajak di samping Jasa yang Dilakukan Oleh Pemborong.

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 disebutkan bahwa “jasa penerbangan dalam negeri dan jasa telekomunikasi dikenakan pajak”. Kementerian Keuangan menyatakan salah satu kendala yang sering ditemui di lapangan di kalangan distributor dan pengecer, secara administrasi mereka belum mampu menjalankan kewajiban mereka hingga menimbulkan perselisihan dengan Kantor Pajak.

Ada kalanya pajak dianggap memberatkan pengecer, namun petugas bisa menagihkan pajak karena ada objek yang terkena pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 bertujuan mengatasi masalah tersebut yaitu dengan memberikan kepastian status pulsa sebagai barang yang kena pajak.

“Ketika kita beli pulsa, sebenarnya sudah kena PPN dan PPh,” kata Ian.

Distributor, dijelaskan Ian, membeli pulsa dalam jumlah banyak dan sudah dikenakan pajak dalam transaksi tersebut. Ian berpendapat dengan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri dan informasi ini tersebar luas, masyarakat kini bisa mengetahui bahwa jasa telekomunikasi pun tidak luput dari pajak. Kebijakan yang diturunkan menjadi Peraturan Menteri ini akan memberikan kepastian hukum karena tata cara tertuang di peraturan tersebut.

Jika penjual bisa mencantumkan berapa harga pulsa tersebut dan berapa besar pajak yang dikenakan, maka akan menjadi lebih transparan. Dia menyoroti pengenaan pajak terhadap tarif promosi, yang sering diberikan ketika masa pandemi ini. Menurut Ian, pajak sebaiknya dikenakan pada harga tarif asli, sebelum promosi.